PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Topik mengenai larutan perlu dipelajari lebih
mendalam karena sangat penting, khususnya untuk ahli farmasi, sehingga dapat
mengerti teori dan penerapan dari gejala kelarutan dan dapat membantu memilih
medium pelarut yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu
mengatasi kesulitan- kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan
larutan farmasetis (dibidang farmasi). Pengetahuan yang lebih mendetail
mengenai kelarutan dan sifat-sifat yang berhubungan dengan itu juga memberikan
informasi mengenai struktur dan obat gaya antarmolekul obat.
Kelarutan
merupakan perameter yang perlu diketahui dalam penelitian perefomasi suatu obat
menjadi suatu sediaan farmasi. Sebelum obat dapat terabsorpsi menembus membran,
obat melalui fase pelarutan dalam cairan tubuh pelarutan didalam cairan tubuh.
Kelarutan obat sering kali dipengaruhi oleh Ph, suhu, sifat pelarut, konsentrasi,
ukuran partikel, kosolvensi, solubility atau zat-zat penglarut.
Bahan-bahan
obat berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah, dengan
demikian faktor pH sangat mempengaruhi kelarutannya.Untuk obat-obat yang
bersifat asam lemah, pada asam lemah, pada pH yang absolut rendah zat
tersebut peraktis tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini
sering disebut sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikan, maka
kelarutannyapun akan meningkat, karena selain membentuk larutan jenuh obat
dalam bentuk molekul yang tidak terionkan( kelarutan intrinsik ) juga terlarut
obat yang terbentuk ion.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana pengaruh pH terhadap kelarutan semu suatu obat ?
1.3. Tujuan Percobaan
Mengetahui
pengaruh pH larutan terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah.
1.4. Manfaat Percobaan
Dapat
Mengetahui pengaruh pH larutan terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam
lemah
BAB
II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Kelarutan
atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut
(solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan dalam
jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan.
Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut dengan
perbandingan apapun terhadap suatu pelarut (Effendi. 2003).
Kelarutan
merupakan perameter yang perlu diketahui dalam penelitian perefomasi suatu obat
menjadi suatu sediaan farmasi. Sebelum obat dapat terabsorpsi menembus membran,
obat melalui fase pelarutan dalam cairan tubuh pelarutan didalam cairan tubuh.
Kelarutan obat sering kali dipengaruhi oleh Ph, suhu, sifat pelarut,
konsentrasi, ukuran partikel, kosolvensi, solubility atau zat-zat penglarut
(Nugroho, 2000 ).
Bahan-bahan
obat berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah, dengan
demikian faktor pH sangat mempengaruhi kelarutannya.Untuk obat-obat yang bersifat
asam lemah, pada asam lemah, pada pH yang absolut rendah zat tersebut
peraktis tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut
sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikan, maka kelarutannyapun akan meningkat,
karena selain membentuk larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak
terionkan( kelarutan intrinsik ) juga terlarut obat yang terbentuk ion
(Zulkarnain, dkk.2008 ).
Gravimetri
merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau komponen yang
telah diketahui dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah
melalui proses pemisahan. Analisis gravimetri adalah proses isolasi dan
pengukuran berat suatu unsure atau senyawa tertentu. Bagian terbesar dari
penetuan secara analisis gravimetri meliputi transformasi unsure atau radikal
kesenyawa murni stabil yang dapat segera diubah menjadi bentuk yang dapat
ditimbang dengan teliti. Metode gravimetric memakan waktu yang cukup lama,
adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila perlu factor-faktor
koreksi dapat digunakan (Khopkar,1990).
Koefisien
partisi tiap zat adalah tetap sesuai dengan sifat alamiah zat itu sendiri. Pas
adalah koefisien partisi yang menyatakan rasio konsentrasi zat dalam air dan
sediment, atau sebaliknya Psa adalah rasio konsentrasi zat dalam sediment dan
air. (Mangkoediharjo, 2005)
Absorpsi
suatu obat dapat didefinisikan sebagai proses perpindahan obat dari tempat
pemberiannya, melewati sawar biologis ke dalam aliran darah maupun ke dalam
sistem limfatik. Absorpsi obat dapat terjadi dan dapat ditentukan dengan
beberapa cara yaitu metode in vitro, metode in situ dan metode in vivo.
Absorpsi in situ melalui usus halus didasarkan atas penentuan kecepatan
hilangnya obat dari lumen usus halus. Metode ini digunakan untuk mempelajari berbagai faktor yang berpengaruh
terhadap permeabilitas dinding usus. Pengembangan lebih lanjut dapat digunakan
untuk merancang obat dalam upaya mengoptimalkan kecepatan absorpsinya untuk obat-obat
yang sangat sulit atau praktis tidak dapat terabsorpsi (Zulkarnain, 2008).
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain :
1. Pengaruh pH
Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan umumnya adalah Zat
organik yang bersifat asam lemah, dimana kelarutannya sangat dipengaruhi oleh
pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam organik lemah seperti barbiturat dan
sulfonamide dalam air akan bertambah dengan naiknya pH karena terbentuk garam
yang mudah larut dalam air. Sedangkan basa-basa organik lemah seperti
alkoholida dan anastetika lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila pH
larutan diturunkan dengan penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam
yang mudah larut dalam air.
2. Pengaruh temperatur (suhu)
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada temperatur, titik
leleh zat padat dan panas peleburan molar zat tersebut. Kelarutan suatu
zat padat dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas
(kalor) mengakibatkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat
tersebut. Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya
antar molekul tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik
molekul-molekul air. Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu
akan menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena
gas yang terlarut di dalam air akan terlepas meninggalkan air bila suhu
meningkat.
3. Pengaruh jenis pelarut
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya.
Kelarutan juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar
dan non polar dari suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar
suatu zat, makin sukar zat tersebut larut dalam air. Menurut Hilderbrane :
kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan hydrogen lebih pentig dari pada
kemolaran suatu zat. Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut
dalam senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol, dan semua asam merupakan
senyawa polar sehingga mudah larut dalam air yang juga merupakan senyawa polar.
Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar, misalnya
lemak mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar umumnya tidak larut dalam
senyawa polar, misalnya NaCl tidak larut dalam minyak tanah. Pelarut polar
bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme sebagai berikut :
·
Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam
Kristal.
·
Memecah ikatan kovalen
elektrolit-elektrolit kuat, karena pelarut ini bersifat amfiprotik.
·
Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.
Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik
antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun tidak
dapat memecahkan ikatan kovalen dan tidak dapat membentuk jembatan hidrogen.
Pelarut ini dapat melarutkan zat-zat non polar dengan tekanan internal yang
sama melalui induksi antara aksi dipol. Pelarut semi polar dapat menginduksi
tingkat kepolaran molekul-molekul pelarut non polar. Ia bertindak sebagai
perantara (Intermediete Solvent) untuk mencampurkan pelarut non polar dengan
non polar.
4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran partikel suatu zat. Konfigurasi
molekul dan bentuk susunan kristal juga berpengaruh terhadap kelarutan zat.
Partikel yang bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila dibandingkan
dengan partikel yang bentuknya simetris.
5. Pengaruh konstanta dielektrik
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar
sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik
ini menurut moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain. Tetapan
dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan
dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing-masing
komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran
dibandingkan pelarut tunggalnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah
co-solvency dan pelarut yang mana dalam bentuk campuran dapat menaikkan
kelarutan suatu zat diseut co solvent. Etanol, gliserin dan propilen glikol
adalah co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi untuk pembuatan
eliksir.
6. Pengaruh penambahan zat-zat lain
Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikan kelarutan suatu
zat. Molekul surfaktan terdiri atas dua bagian yaitu bagian polar dan non polar
apabila didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah, akan berkumpul
pada permukaan dengan mengorientasikan bagian polar ke arah air dan bagian non
polar kearah udara, surfaktan mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk
agregat yang dikenal sebagai misel. Konsentrasi pada saat misel mulai terbentuk
disebut konsentrasi misel kritik (KMK).
BAB
III
METODELOGI PERCOBAAN
3.1
Waktu dan Tempat
Percobaan Fisika Farmasi yang berjudul
“Kelarutan Semu/Total(Apparent Solubility)” ini dilakukan pada tanggal 14 Maret
2014 pukul 14.20 sampai dengan 18.00 WIB. Percobaan ini dilakukan di
laboratorium Fisika Farmasi yang bertempat di gedung Training Center
Universitas Syiah Kuala (TC-Unsyiah).
3.2
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah batang
pengaduk, botol semprot, buret 50 mL, corong, erlenmayer, filler, gelas kimia
25, 250, dan 1000 mL, kaca arloji, labu ukur 500 mL, oven, pH meter, pipet
tetes, pipet volume 10 mL, spatula, timbangan analitik.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
aluminium foil, aquadest, asam benzoat, kertas saring, KH2PO4,
NaOH.
3.3
Prosedur Percobaan
3.3.1
Pembuatan
Reagensia
a.
Pembuatan
1 L air bebas CO2
Diambil 1 L aquades. Dimasukkan dalam
gelas kimia 1 L. Dipanaskan hingga mendidih. Diangkat dan ditutup dengan
aluminium foil. Lalu ditunggu hingga dingin. Kemudian disimpan dalam botol
reagen.
b.
Pembuatan
500 mL NaOH 0,1 N
Diambil NaOH 0,1 N sebanyak 2 g.
Dimasukkan dalam gelas kimia 250 mL. ditambahkan 100 mL H2O bebas CO2.
Diaduk hingga larut. Dipindahkan dengan corong dalam labu ukur 500 mL. dibilas
corong, batang pengaduk dan gelas kimia dengan H2O bebas CO2.
Dipindahkan air bilasan ke dalam labu ukur. Ditambahkan H2O bebas CO2
hingg tanda batas. Lalu dikocok hingga homogen. Kemudian ditutup.
c.
Pembuatan
500 mL KH2PO4 0,1 M
Diambil KH2PO4 0,1
M sebanyak 13,6 g. Dimasukkan dalam gelas kimia 250 mL. Ditambahkan 100 mL
aquades. Diaduk hingga larut. Dipindahkan dengan corong dalam labu ukur 500 mL.
Dibilas corong, batang pengaduk dan gelas kimia dengan aquades. Dipindahkan air
bilasan ke dalam labu ukur. Ditambahkan aquades hingga tanda batas. Dikocok
hingga homogen. Lalu ditutup.
d.
Pembuatan
Larutan Dapar Fosfat pH 5,8; 6,0; 6,2; 6,4; dan 6,6
Diambil KH2PO4 0,1
M sebanyak 25 mL. Dimasukkan dalam erlenmayer 250 mL. Dotambahkan NaoH 0,1 M
melalui buret hingga pH yang diinginkan. Diulangi percobaan pada pH yang lain.
e.
Larutan
Dapar Fosfat
Dimasukkan dalam gelas kimia 50 mL.
Ditambahkan 0,2 g asam benzoat. Diaduk selama 5 menit. Disaring dengan kertas
saring yang diketahui beratnya. Dikeringkan dalam oven. Lalu ditimbang.
Kemudian diulangi percobaan dengan dapar fosfat pH lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ditjen
POM. (1979). “Farmakope Indonesia”.
Edisi III. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
M.
Idris Effendi. (2003). “Materi Kuliah Farmasi Fisika”. Jurusan farmasi
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Khopkar,
S. M, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik,
UI-Press, Jakarta.
Mangkoedihardjo, Sarwoko. Perencanaan
Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir Sebagai Penyangga Perencanaan Tata
Ruang Wilayah Daratan: Sebuah kajian dengan pendekatan energi, ekosistem, dan
ekologi. Seminar. Jurusan Teknik Lingkungan. 2005. Surabaya.
Nugroho,
A.K. SuwaldiMartodiharjo, TejoYuwono. Pengaruh Propilen Glikol Terhadap Kelarutan Semu Teofilin dan Kofein.
Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Majalah Farmasi Indonesia. 2002. Yogyakarta.
Zulkarnain,
Abdul Karim. Arundita Kusumawida. Triani Kurniawati. Pengaruh Penambahan Tween 80 dan Polietilen Glikol 400 Terhadap
Absorpsi Piroksikam Melalui Lumen usus in situ. Fakultas Farmasi
Universitas Gajah Mada. Majalah Farmasi Indonesia. 2008. Yogyakarta.
PEMBAHASAN DIDAPAT SAAT PRAKTIKUM!
Thanks for reading & sharing Dika Ramadanu
0 komentar:
Posting Komentar